Saat Indonesia punya cita-cita untuk memproduksi minyak 1 juta barel per hari pada tahun 2030, ternyata tidak sebanding dengan lifting minyak Indonesia yang kian merosot pada 5 tahun terakhir. Pada tahun 2016, Indonesia sukses menghasilkan 829.000 barel per hari, akan tetapi merosot pada tahun 2021 menjadi 660.000 barel per hari. Bahkan per September, lifting minyak hanya mencapai 610.100 barel per hari.
Padahal, ketergantungan Indonesia terhadap minyak masih tinggi, loh. Tercatat, sejak tahun 2004 Indonesia masih menjadi negara pengimpor bersih minyak. Kebutuhan akan BBM untuk konsumsi Indonesia mencapai 1,4 juta – 1,5 juta barel per hari. Hal ini rupaya tidak sanggup dipenuhi oleh pemerintah dalam negeri.
Nah, mengapa lifting minyak Indonesia masih saja merosot, ya, setiap tahunnya? Padahal Indonesia punya impian untuk bisa menjadi negara yang memproduksi 1 juta barel minyak per hari. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ini alasannya.
1. Usia Sumur Minyak Sudah Melewati Masanya
SKK Migas menjelaskan, lifting minyak terjadi karena problem lapangan yakni longsor di wilayah kerja ExxonMobil Cepu Ltd tepatnya di Bojonegoro, Jawa Timur. Hal ini mengakibatkan pipa minyak tidak layak dijalankan. Ketika tidak dapat berjalan dengan layak, tentu kamu mengetahui akibatnya, kan?
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, mengamini kendala dalam mewujudkan cita-cita 1 juta barel tersebut. Adanya unplanned shutdown, fasilitas di beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan penurunan produksi alamiah adalah alasannya.
Selain itu, berbagai sumur minyak yang dioperasikan di Indonesia usianya sudah melewati masanya yakni tidak dapat berproduksi. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, kenyataan tersebut tidak dibarengi dengan kemampuan pemerintah Indonesia untuk menemukan cadangan baru selayaknya Blok Cepu era 2000-an. Jika cadangan baru belum ditemukan, apa yang akan terjadi selanjutnya, ya?
2. Iklim Penanaman Modal Masih Labil
Insentif fiskal dan nonfiskal juga menjadi masalah di bidang hulu minyak dan gas. Iklim investasi di Indonesia dinilai masih acak kadut di mata penanam modal karena beberapa hal yang disebabkan oleh kita sendiri. Ya, seperti perizinan yang tumpang tindih dan birokrasi berbelit, membuat penanam modal jengah dengan cara model berbisnis seperti ini.
Dilansir Wood Mackenzie dan IHS Markit, untuk daya tarik fiskal migas di Indonesia hanya mendapatkan nilai 2,4 dari 0 sampai 5. Padahal, rerata minimal untuk dunia adalah 3,3. Hal ini sebenarnya bisa dibenahi melalui birokrasi, kontrak bagi hasil yang fleksibel, insentif fiskal dan nonfiskal, serta perbaikan data migas.
Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, iklim investasi migas Indonesia yang kurang kompetitif dinilai tidak menarik minat investor. Hal ini mengakibatkan cita-cita mencapai 1 juta barel susah digapai. Menurutnya, secara kalkulasi, diperlukan tambahan produksi dari lapangan migas skala besar yang mayoritas dihasilkan dari investasi-investasi major international oil companies (IOCs).
3. Potensi Cadangan Minyak Tak Segera Dieksplorasi
Dikutip Kompas, pemerintah menyampaikan bahwa sumber daya migas Indonesia terhitung besar. Masih ditemukannya 74 cekungan hidrokarbon di wilayah timur Indonesia dan perairan dalam menjadi sebab dari segala sebab. Namun apa jadinya jika potensi tersebut tidak segera dieksplorasi? Akan mangkrak begitu saja tak berguna, toh. Apalagi tahap eksplorasi membutuhkan teknologi, riset, dan waktu lama. Lalu, kita harus bagaimana?
Pri Agung menambahkan, cita-cita produksi 1 juta barel sulit tercapai jika skema kerja migas masih belum ada. Seperti, lapangan mana saja yang akan dieksplorasi, kapan dan siapa yang akan merealisasikan proyek tersebut. Semua harus dipikirkan dengan matang.
4. Implementasi Teknologi Enhanced Oil Recovery Dinilai Sulit
Enhanced oil recovery atau EOR diklaim pemerintah bisa menjadi teknologi pengurasan minyak tingkat lanjut yang mampu meningkatkan produksi minyak di masa depan. Walau begitu, implementasi teknologi ini tak semudah membalik telapak tangan, nyatanya penerapan tersebut tidak semudah itu!
Menurut Vice President Indonesian Petroleum Association (IPA), Ronald Gunawan, teknologi EOR sulit diterapkan karena butuh waktu lama. Dibutuhkan proses perencanaan, pencocokan metode dengan karakter sumur minyak dan pengembangannya.
Ronald menjelaskan, ketika zat kimia EOR masuk ke dalam sumur minyak tidak semata-mata bisa langsung meningkatkan produksi. Butuh waktu dan pengelola harus menunggu reaksi kimia agar minyak bisa tertangkap dan keluar sumur.
Tentu rencana memproduksi 1 juta barel tak akan segera pupus jika masalah di atas mampu diatasi gercep oleh pemerintah khususnya Kementerian ESDM yang menaungi penanganan energi Indonesia. Harapannya, Kementerian ESDM dapat segera mengatasi masalah di atas demi memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri.
Ya, walau Indonesia kini juga sedang transisi menuju energi EBT, namun tak perlu menafikan bahwa kebutuhan minyak dalam negeri masih tinggi. Toh, ini demi kesejahteraan masyarakat dan perekonomian Indonesia dalam segala aspek, kan?
Discussion about this post