Pandemi sudah setahun lebih menghantam Indonesia dan juga seluruh dunia. Telah banyak kerugian yang diderita masyarakat. Namun karena hidup ini bukanlah negeri dongeng yang selalu bahagia, tentunya di tengah nestapa masyarakat, tetap saja ada yang mencari celah keuntungan demi kepentingan pribadi. Celah tersebut berbentuk sebuah usaha. Dan, usaha ini dapat mendulang profit triliunan rupiah serta tumbuh besar di masa pagebluk. Ya! bisnis jasa tes usap RT-PCR!
Meski harga tes PCR sudah diturunkan menjadi paling tinggi harus Rp300 ribuan, padahal sebenarnya operasional tes PCR bisa lebih murah dari itu. Lembaga-lembaga pemerintahan bahkan pernah merekomendasikan harga ideal untuk satu kali tes PCR di angka Rp200 ribu. Hal ini sudah disesuaikan dengan modal yang dikeluarkan oleh RS atau laboratorium terkait. Lembaga ini juga menuliskan, “Jika harga turun maka jumlah tes PCR akan bertambah,”.
Ya, tracing, kan, yang menjadi kunci penting dalam memerangi Covid-19?
Selain lembaga pemerintahan, ada juga uraian dari lembaga lainnya yaitu Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Andani Eka Putra. Menurutnya, harga tes PCR seharusnya tidak setinggi yang dibanderol di pasaran, seperti saat awal-awal pandemi di Indonesia. Andani menjelaskan, bahwa pada awal-awal pandemi, tes usap PCR memiliki mahar Rp1.5 jutaan untuk satu kali tes. Padahal, modal yang dikeluarkan hanya sekitar Rp600 ribu.
Alasan Harga Tes PCR Mahal: Mesin Masih Impor
Sebenarnya, apa yang harus dipersiapkan oleh fasilitator swab test RT-PCR? Diantaranya adalah mesin PCR itu sendiri dan reagen. Biasanya para pebisnis tes PCR akan bekerja sama dengan importir-importir, misalnya dari China. Mesinnya sendiri dibanderol seharga Rp400 juta.
Selain itu ada media penyimpanan spesimen lendir hidung dan tenggorokan dari pasien yaitu viral transport medium atau VTM juga didapat dari importir. Kiranya, jika penyedia fasilitas tes usap RT-PCR membeli reagen seharga Rp60 ribu hingga Rp1,5 miliar, mereka bisa mendapatkan pendapatan kotor Rp12,4 miliar per 25 ribu orang yang PCR bertarif Rp475 ribu.
Padahal jika tidak impor, bisa saja kan harga tes PCR lebih murah?
Ternyata Ada Kepentingan Bisnis Triliunan Rupiah Dibalik Tes PCR
Wana Alamsyah, Peneliti Indonesia Corruption Watch mengungkapkan bahwa keuntungan-keuntungan bisnis PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp10,46 triliun dan belum dihitung keuntungan yang didapat importir, “Keuntungan fantastis,” tutur Wana.
Dan tidak hanya pengusaha saja yang bermain di pusaran bisnis tes PCR ini. Orang yang selama ini sibuk berkoar membuat kebijakan demi kepentingan dan kebaikan masyarakat justru menjadi salah satu yang ikut meneguk kenikmatan dari bisnis ini. Ya, dia adalah Menko Kementerian Kemaritiman dan Investasi yaitu Luhut Binsar Pandjaitan yang dua anak usaha miliknya terafiliasi dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia (PT GSI), penyedia laboratorium untuk tes PCR. Tak tanggung-tanggung, PT Toba Sejahtera dan PT Toba Bumi Energi, masing-masing mempunyai 242 lembar saham senilai Rp242 juta.
Lewat klarifikasi resmi dari Jubir Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahadi, secara tersirat publik jadi mengetahui dan menghitung secara kasar berapa total keuntungan yang bisa diraup Luhut dari dugaan keterlibatannya di dalam bisnis tes PCR. Kata Jodi, bosnya tak memiliki kontrol perusahaan karena saham yang dimilikinya di bawah 10 persen.
Pun, bila Luhut memiliki saham mentok 10 persen, dirinya tetap bisa meraih keuntungan Rp30 triliun per 1 juta orang yang tes usap PCR dengan harga terbaru, Rp300 ribuan. Nilai itu tetap fantastis, meskipun pundi yang didapatkan turun dibanding kala harga tes PCR masih jutaan.
Kabar ini tentulah bisa melukai hati masyarakat. Tanpa sadar selama mereka terpontang-panting bertahan hidup karena terdampak pandemi Covid-19, mereka juga ditindas perlahan oleh orang yang mereka kira bisa membantu penanganan penyebaran Covid-19 di Tanah Air.
Discussion about this post