Salah satu pemain besar di industri EV Indonesia adalah investor besar Tiongkok, Tsingshan, yang berada di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Dilansir Bloomberg, Tsingshan diketahui pada September 2021 lalu bekerja sama dengan perusahaan baja dan nikel asal Tiongkok Shenzhen Chengxin Lithium Group Co Ltd.
Kerja sama dua perusahaan ini bertujuan untuk membangun pabrik lithium di Sulawesi Tengah, Indonesia. Pabrik tersebut diperkirakan bernilai senilai US$350 juta atau hampir Rp5 triliun dengan fokus pasar kendaraan listrik (EV). Chengxin menyampaikan bahwa para mitra akan membangun pabrik untuk memproduksi bahan kimia lithium.
Selain kedua pabrik tersebut, di IMIP terdapat proyek investor besar Tiongkok termasuk pabrik nikel dan kobalt yang merupakan bahan baku baterai EV. Pabrik tersebut diproyeksikan mampu menghasilkan 50 ribu ton per tahun lithium hidroksida dan 10 ribu per tahun lithium karbonat.
Seperti diketahui, beberapa tahun belakangan hingga saat ini Indonesia sedang mendorong pengembangan electric vehicle (EV) atau kendaraan listrik. Melalui Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035, pemerintah Indonesia menjadikan alat transportasi hingga ekosistem EV sebagai prioritas.
“Indonesia telah menetapkan roadmap jalan pengembangan EV melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 27/2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV, dan Perhitungan Tingkat Kandungan Lokal,” jelas Menperin, Agus Gumiwang Kartasasmita, dikutip dari laman resmi Kemenperin.
Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh Indonesia agar bisa menjadi pemain utama di ekosistem EV, seperti menciptakan ekosistem EV yang terintegrasi. Mengapa pemerintah dan semua pihak yakin Indonesia bisa menjadi pemain utama di industri EV? Sebab, sumber daya alam (SDA) berupa nikel, kobalt, ferronickel, endapan hidroksida, dan lain-lain yang merupakan bahan baku baterai EV ada di Indonesia semua!
Akan tetapi, bagaimana kalau semua hal itu hanyalah mimpi belaka? Apalagi jika pabrik sebesar Tsingshan hengkang dari Indonesia. Dipastikan akan memengaruhi berbagai sektor di Indonesia seperti ekonomi dan mimpi Indonesia untuk menjadi supply chain ekosistem EV. Boleh dikatakan, Tsingshan bagaikan ‘perpanjangan tangan’ dari mimpi-mimpi Indonesia.
Bahkan menurut laporan Bloomberg, Tsingshan Holding Group Co. sedang melego beberapa asetnya di bisnis stainless steel Indonesia kepada Baowu Steel Group Corp, perusahaan baja nirkarat terbesar milik pemerintah Tiongkok.
Xiang Guangda, selaku petinggi Tsingshan menjelaskan alasan dibalik penjualan aset tersebut. Ia rupanya telah memikirkan kembali masa depan perusahaannya dalam waktu singkat ketika dirinya menghadapi kerugian miliar dolar. Selain itu, diketahui Tsingshan sempat goyah secara finansial karena margin call di London Metal Exchange (LME).
Tetap masalah LME bukanlah satu-satunya. Ada hal utama yang membuat investor akhir-akhir ini geram, beberapanya adalah carut-marut regulasi, tidak adanya jaminan investasi jangka panjang dan ketidakpastian dari kebijakan industri pertambangan Indonesia dinilai membuat investor jengah. Kegundahan yang dialami inevstor besar ini bisa jadi menimbulkan ‘undur diri’ dari Indonesia.
Kalau memang mereka benar-benar undur diri dari Indonesia, lalu bagaimana cita-cita Indonesia yang ingin menjadi supply chain bagi industri EV dunia? Bukankah hal tersebut menjadi omong kosong belaka jika pada akhirnya Indonesia tak bisa mewujudkannya? Apalagi mimpi tersebut digaungkan secara besar-besaran kepada masyarakat. Pasti masyarakat terasa ter-PHP.
Sepertinya Indonesia harus segera bangkit dari ‘mimpinya’ tersebut agar bisa mengejar ketertinggalan. Kan, Indonesia hendak lari cepat, bukan sekadar bermimpi, toh? Bukankah kita tidak mau rezeki Indonesia yang sudah di depan mata, mendadak dipatok orang lain?
Discussion about this post