Potensi energi baru terbarukan di Indonesia sangat besar, oleh sebab itu pemerintah kini sedang gencar untuk melakukan pembangunan serta eksplorasi terhadap energi tersebut. Namun sayangnya, hal tersebut tidak sebanding dengan kebijakan EBT di Indonesia.
Apalagi hal ini terbukti dengan realisasi EBT di Indonesia baru sekitar 10.467 MW pada akhir tahun 2021 atau sekitar 11% dari target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025 sebesar 23%.
Bahkan, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengamini hal tersebut. Ia memaparkan bahwa persentase realisasi EBT di Indonesia masih di bawah target RUEN. Hal ini disebabkan kebutuhan energi tersebut rupanya tidak setinggi yang ditetapkan oleh RUEN.
Lalu, apa yang menyebabkan realisasi EBT di Indonesia masih tidak maksimal? Berdasarkan jurnal Ringkasan Permasalahan dan Tantangan Program Peningkatan Kontribusi Energi Baru dan Terbarukan dalam Bauran Energi Nasional terbitan Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Badan Keahlian Dewan DPR RI (2021), disebutkan bahwa pemerintah, terutama ESDM nampak kurang memerhatikan EBT di Indonesia. Sebab, terangkum banyak evaluasi dan hal ‘abnormal’ yang terjadi, termasuk kebijakan EBT di Indonesia.
Pertama, tidak seragamnya regulasi yang diterbitkan Kementerian ESDM dengan regulasi lintas sektoral, salah satunya penetapan harga jual. Semua investor kini masih menggunakan data dari Kementerian ESDM sebagai rujukan. Tapi dari hal tersebut ada masalah yakni data potensi EBT belum sepenuhnya yang terbaru alias belum ada update sama sekali dari pihak yang berkepentingan untuk memperbaharuinya (BPK RI, 2020).
Tak hanya regulasi perihal harga jual, masalah perizinan dan pembagian kewenangan antara pusat maupun daerah masih belum ditetapkan dengan baik. Aspek akurasi data EBT dari ESDM yang jadi rujukan investor untuk menggelontorkan dana pun belum canggih dan akurat. Padahal, peran investor adalah penting dalam sebuah pembangunan!
Belum lagi insentif dan pendanaan yang belum berjalan efektif. Tak kalah penting dengan investor, kedua hal tersebut juga krusial guna meningkatkan investasi bidang EBT. Instrumen pendanaan belum bisa menjawab kegundahan investor dalam pengembangan EBT. Dukungan pemerintah untuk riset, baik dalam bentuk anggaran maupun non-anggaran, pun juga masih minim.
Diperlukan juga koordinasi lintas sektoral terkait hukum dan kebijakan kuat untuk EBT. ESDM juga perlu mengembangkan platform online yang dapat diakses oleh investor dalam rangka menyajikan data potensi awal serta limitasi EBT. Skema intensif juga jadi urgensi untuk mendorong investasi serta pengembangan infrastruktur EBT, misal adanya subsidi bunga, pembebasan PPN jasa konstruksi hingga kemudahan perizinan untuk menarik minat investor.
Setelah semua pengembangan berjalan, dibutuhkan pula monev (monitoring & evaluasi) bagi program EBT agar pelaksanaannya efektif serta hasil monev dapat dijadikan acuan perbaikan berkelanjutan.
Selain itu, para pengamat energi menerangkan bahwa penerapan EBT di Indonesia dinilai lambat. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Menurutnya, problema tersebut dikarenakan ketergantungan Indonesia pada energi fosil khususnya batu bara.
Dari segala macam masalah yang terjadi pada kebijakan EBT di Indonesia, jangan sampai EBT ‘lahir’ dengan kondisi yang labil dan tidak jelas. Sebab, EBT yang memiliki berbagai jenis seperti tenaga panas bumi, air-mikrohidro, surya fotovoltaik, udara, biomassa, bio gas, energi laut dan bahan bakar nabati, jika dibiarkan ‘lahir’ labil, maka akan menimbulkan kerepotan, tak hanya bagi pemerintah tapi juga masyarakat. Bagaimana sikap ESDM atas hal ini, ya?
Discussion about this post