Pejabat negara yang namanya tengah terlibat dalam bisnis PCR kini sedang dibuntuti oleh polemik. Karena derasnya pemberitaan yang ditujukan kepada pejabat negara tersebut, akhirnya, keterlibatan mereka pun dapat terbongkar ke permukaan dan terdapat peraturan yang dilanggar pejabat negara tersebut.
Pertanyaan mengenai kasus ini diketahui atau tidak oleh presiden mulai muncul. Namun, jawabannya masih tetap sama, yakni belum menemui titik terang. Sikap tegas pun sampai saat ini belum dikeluarkan oleh Presiden Jokowi kepada para menterinya sejak kasus ini terkuak di awal bulan November.
Tak didiamkan saja, menteri-menteri yang terlibat dalam kasus bisnis tes PCR itu pun sudah dilaporkan ke pihak yang berwajib seperti KPK, BPK hingga DPR oleh sejumlah ormas dan tokoh politik.
Seperti pendapat yang disuarakan oleh Asfinawati Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Asfinawati mengindikasikan ada keterlibatan bosnya dalam PT GSI meski memiliki saham hanya 10 persen. Hal itu berdasarkan dari ungkapan Jodi Mahardi, Jubir Kemenko Marves yang dibawahi oleh Menko Luhut Binsar Pandjaitan. Dirinya mengungkapkan bahwa meskipun Luhut itu penerima manfaat yang lebih kecil, poinnya adalah terindikasi tidak jujur.
Ditambahkan juga oleh Asfinawati bahwa pejabat yang terlibat kasus tersebut dapat dikenakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Meskipun nepotisme itu tidak harus dengan bukti korupsi, menurut Asfinawati, keterlibatan Luhut yang mempunyai saham 10 persen di perusahaan bisa menjadi bukti.
Peraturan Presiden Nomor 13 tahun 2018 atau Perpres Beneficial Ownership tak lupa diingatkan. Peraturan tersebut menjelaskan tentang Penerapan Prinsip Mengenali Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Dalam peraturan tersebut mengatur pemilik manfaat baik orang perorangan untuk memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina atau pengawas pada korporasi dan memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi sehingga berhak dan atau menerima manfaat dari korporasi secara langsung atau tidak langsung serta menyoal kepemilikan saham lebih dari 25 persen hak suara lebih dari 25 persen, menerima keuntungan lebih dari 25 persen laba per tahun.
Berdasarkan hal tersebut, Menko Luhut dapat disangkakan sebagai pelanggar Perpres Beneficial Ownership walaupun persentase saham yang dimilikinya tergolong kecil.
Discussion about this post