13 tahun berlalu, tepatnya pada tahun 2009, Indonesia resmi mengharuskan pelaku usaha untuk menjalankan hilirisasi industri, tak terkecuali hilirisasi olahan nikel Indonesia. Nah, dari hilirisasi olahan nikel ini, dapat mengantarkan Indonesia menjadi negara produsen baterai EV kelas dunia.
Namun, bagaimana sebenarnya suratan takdir alias nasib dari hilirisasi olahan nikel Indonesia setelah belasan tahun terlaksana? Apakah hilirisasi industri nikel telah berhasil mengantarkan Indonesia menuju peradaban yang lebih maju?
Nyatanya, cita-cita tersebut bisa jadi tersendat karena beberapa kebijakan kontroversial. Salah satunya adalah pengenaan pajak ekspor komoditas olahan nikel dengan bahan baku kurang dari 70%. Hal ini disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia.
“Ekspor bahan baku tersebut akan dikenakan pajak yang cukup tinggi. Dengan demikian, negara setidaknya mendapatkan kompensasi saat mengizinkan ekspor bahan baku bijih nikel,” paparnya pada bulan Mei 2022.
Bagi beberapa orang, pengenaan pajak ekspor komoditas olahan nikel ini bakal berpengaruh bagi pelaku bisnis di hilirisasi nikel. Apalagi, baru-baru ini muncul PP No. 26/2022 tentang pajak progresif untuk ekspor nikel. Di dalam beleid tersebut, produk olahan nikel seperti Nickel Pig Iron (NPI), Ferronickel (FeNi), Nickel Matte, Nickel MHP, Nickel Sulfide, Kobalt Oksida, Logam Krom, Mangan Oksida dan masih banyak lagi.
Menurut peneliti, penerapan kebijakan pajak ekspor progresif olahan nikel tersebut perlu diimbangi dengan peningkatan kapasitas serap industri lanjutan olahan nikel dalam negeri. Hal ini disampaikan oleh Ferdy Hasiman, peneliti Alpha Research Database.
Ia menambahkan, kebijakan tersebut jadi krusial karena menjadi jaminan program hilirisasi serta tata niaga nikel domestik. Ia berharap pemerintah juga turut mengimbangi dengan meningkatkan kapasitas serap industri lanjutan olahan nikel dalam negeri.
“Makanya industri hilir harus jalan karena kalau enggak ada industri, enggak ada yang beli,” ujar Ferdy.
Pernyataan Ferdy Hasiman diamini juga oleh Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia. Ia memaparkan kalau pengenaan pajak ekspor atas hasil pengolahan nikel jika ditetapkan harus dilakukan dengan saksama dan hati-hati.
“Penerapannya harus hati-hati, serta dengan mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis, dan pengembangan iklim investasi di Indonesia,” imbuhnya.
Dari sisi pengusaha yakni Direktur INCO, Bernardus Irmanto, juga merasakan hal serupa. Ia menjelaskan kalau pengenaan pajak ini nantinya bakal membuat para pengusaha tertekan.
“Namun, pengenaan pajak ini akan memberikan tekanan terhadap industri nikel, terutama perusahaan yang melakukan ekspor produk olahan nikel. PT Vale tidak terkecuali karena kami mengekspor semua produk kami ke Jepang,” tuturnya.
Menurut Bernardus, jika tujuan dari pengenaan pajak ini untuk mendorong hilirisasi, mungkin perlu dikaji waktu pelaksanaan dengan ketersedian downstreaming facility di Indonesia.
Memang benar, dari pengenaan pajak ekspor progresif nikel ini berguna agar industri nikel Indonesia lebih menarik sehingga mengundang minat investor untuk membangun pabrik smelter di Indonesia. Tapi tanpa disadari, terdapat efek domino dari penerapan kebijakan tersebut; mengganggu iklim investasi di sektor hilir.
Dengan tekanan seperti yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pajak progresif nikel malah merugikan para pelaku usaha nikel. Jika tidak menguntungkan pengusaha, ada kemungkinan pula investor yang berperan besar dalam pengembangan industri hilirisasi nikel dalam negeri ditakutkan akan terdampak.
Mengapa merugikan investor dan pengusaha? Sebab nantinya produk nikel akan dikenakan pajak jika diekspor ke luar negeri. Selain itu, pajak progresif perusahaan tambang yang terintegrasi dengan pabrik smelter harus membayar pajak hasil produk akhirnya. Kan, merepotkan?
Di mata investor, kebijakan tersebut dinilai meresahkan karena tidak sesuai dengan perjanjian awal investasi. Ditakutkan, investor nanti akan ‘kegerahan’ karena tidak nyaman dengan sistem investasi Indonesia yang inkompatibel. Setelah ‘kegerahan’, bukan tidak mungkin semua investasi baik berupa uang, teknologi hingga pengetahuan kemudian ditarik oleh investor. Dan, berakhir perginya investor dari Indonesia. Bukankah ini kabar mengerikan?
Jangan sampai negara kamu mengalami hal ini, ya. Ada baiknya, negara memiliki mitigasi serta kebijakan yang win-win solution antara pemerintah dengan pebisnis maupun investor. Agar bisnis tetap berjalan dengan baik, ekonomi negara pun tetap stabil lalu Indonesia bisa menjadi produsesn baterai EV kelas dunia. Begitulah seharusnya suratan takdir hilirisasi olahan nikel Indonesia.
Discussion about this post